Sahabat itu (bukan) Pacar #3

Jumat, 24 September 2010



Hari-hari mereka jalanin sama-sama. Bagi mereka ga jauh beda sama hari-hari sebelumnya, waktu mereka belum pacaran. Ga ada yang beda, semua ngalir gitu aja. Bahkan disekolah pun ga ada yang tau kalo mereka udah jadian. Bagi teman-teman mereka, sebelum jadian pun mereka udah dekat, jadi sekarang udah ga aneh lagi.

Sampai pada akhirnya..

“Heh, lo kemana sih yang?” kata Cintya di telpon.

“Ga kemana-mana. Lagi tidur gue tadi. Kenapa?”

“Hah? Lo bilang kenapa? Lo ga inget sekarang hari apa?”

“Inget. Kamis kan? Kenapa emang?”

“Mana, katanya lo mau jemput gue. Gue tadi pulang ujan-ujanan yang. Gue nunggu lo lama banget, yaudah gue balik aja.”

“Oh iya. Maaf ya.”

“Cuma maaf? Gampang banget ya lo minta maaf!”

“Terus gue harus gimana sih yang?”

“Tau deh! Terserah lo aja.”

Trek! Telepon ditutup.

Cintya masih duduk di bangku dekat telepon rumahnya. Dia capek. Udah beberapa minggu ini hubungan dia sama Dika jadi renggang. Dika berubah, ga kayak dulu. Ga kayak waktu dia masih jadi sahabatnya. Setelah mereka jadian, Dika berubah. Awalnya Dika masih bersikap layaknya sahabat. Tapi lama kelamaan dia mulai aneh. Posesif, mengatur-atur, memilih-milih teman yang pantas buat dirinya. Cintya bingung. Apa seorang pacar harus kayak gitu? Tiap Cintya nanya kenapa Dika bersikap kayak gitu, dengan entengnya Dika jawab: “Gue cuma pengen yang terbaik buat lo.”

***

Bunyi sms dari hapenya, membuat Dika tersadar. Jam 23.00. Dika bangun, menyandarkan kepalanya dengan bantal, lalu membuka sms yang masuk.

“Lebih baik kita kayak dulu. Gue ga mau kita gini terus.”

Sms dari Cintya. Dika kaget. Ga nyangka Cintya akan sms seperti itu. Lama Dika terdiam, ga membalas sms itu. Di dalam pikirannya berkecamuk beberapa hal. Dia sayang sama Cintya. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini dia merasa lebih nyaman nikmatin semuanya saat dia dan Cintya belum pacaran. Ya, saat mereka masih bersahabat baik. Dika membuka hapenya. Mengetik sms yang akan dikirimnya untuk Cintya.

“Besok gue mau ngomong. Pulang sekolah langsung ke tempat biasa.”

Send!

***

Besoknya sepulang sekolah, Dika langsung ke tempat biasa dia dan Cintya ngabisin waktu berdua. Ternyata disana udah ada Cintya.

“Cin, ada apa?”

“Eh Dik, sini. Maaf semalem sms jam segitu,”

“Ga apa-apa” kata Dika sambil duduk disamping Cintya. “Emang mau ngomong apa?”

“Tapi lo jangan marah. Dan gue harap lo ngerti.” kata Cintya pelan. Dika mengangguk.

“Dik, lo tau kan kita udah temenan dari bayi?” tanya Cintya.

“Iya.”

“Lo tau kan gimana deketnya kita, keluarga kita?”

“Iya. Gue tau semua kok. Emang kenapa sih?”

“Dik, gue ga mau kita kayak gini. Berantem terus. Lo inget ga, setelah kita pacaran, kita tuh jadi sering berantem. Ga kayak dulu waktu kita belum pacaran.”

“Iya, gue juga ngerasa gitu.” jawab Dika. “Tapi kita kayak gitu juga karna kita mau dapet yang terbaik buat hubungan kita. Iya kan?”

“Iya, iya gue ngerti. Gue sayang lo Dik. Tapi kayaknya untuk sekarang gue belum bisa sayang yang lebih ke lo. Gue sayang lo sebagai sahabat gue.”

Dika diam. Mukanya tertunduk. Dia ngelihat sebentar ke Cintya. Dilihatnya Cintya menangis.

“Cin, jangan nangis.” kata Dika. Tangannya mengusap lembut kepala Cintya.

“Iya, gue ga nangis kok.”

“Gue sayang lo Cin.”

“Gue juga Dik.”

“tapi mungkin bener kata lo. Mungkin kita sama-sama belum siap buat ngejalanin ini semua. Belum saatnya.”

“Iya. Lo ngerti gue kan Dik?”

“Iya, gue ngerti. Sudahlah, kayaknya kita lebih nyaman kalo kayak dulu ya. Menurut lo?”

“Iya, menurut gue juga gitu.”

“Ternyata yang namanya sahabat itu ga bisa dijadiin pacar ya Cin.”

“Lo mikir gitu Dik? Gue juga mikir gitu. Yah mungkin bukan ga bisa, tapi belum bisa. Lebih tepatnya belum bisa untuk sekarang…”

“Yap, gue setuju. Pulang yuk ah, udah sore.”

“Iya Dik..”


***

Dirumahnya, Dika menyalakan laptopnya. Membuka program Microsoft Word, dan mengetik sebuah tulisan disana:

“Ternyata yang namanya persahabatan ga bisa di gantikan dengan percintaan. Gue baru ngerti itu….”

Cintya juga begitu. Dia mengedit sebuah foto di Photoshop. Foto tersebut hanya ditambahkan beberapa kalimat:

“Sahabat ga bisa diganti sama apapun. Bahkan dengan cinta…”

Setelah mengetik kalimat itu, dia diam sejenak. Lalu jari-jarinya kembali mengetik sebuah kalimat:

“….(mungkin untuk sekarang).”

Cintya tersenyum. Memandangi foto hasil editannya. Fotonya saat bareng Dika.



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Sahabat itu (bukan) Pacar #2



Bunyi sms dari hape N70 ngebuat Cintya tersadar dari lamunannya tadi. Dia buka sms itu. Dari Dika. Di sms itu, Dika bilang mau telepon ke rumah Cintya. Dika emang gitu, slalu sms dulu kalo mau telpon. Cintya membalas sms, dan ga lama kemudian telepon rumahnya berdering.

"Halo."

"Halo. Cin, tau ga?"

"Apaan nyet?"

"Nyokap nyangka gue pacaran sama lo. Gosip dari mana sih?"

"Heh, nyokap gue juga sama tau." kata Cintya. "Dia bilang kalo gue mending pacaran sama lo"

"Iya nyokap gue juga bilang gitu." jawab Dika.

"Eh Dik, gue rasa itu gosip dateng sendiri deh."

"Kok bisa?"

"Bisa lah. Lo sama gue slalu bareng-bareng. Kita pisah cuma pas lagi tidur, mandi, sama kebelet pipis atau pup. Ya kan?"

"Iya sih. Tapi ga masalah kali. Toh kenyataannya kita ga gitu kan?"

"Tapi mereka semua nganggep kita pacaran Dikaaa."

"Cuekin." kata Dika santai.

***

Gara-gara gosip itu, mereka berniat ga bareng-bareng dulu sampai orang-orang lupa. Tapi kenyataannya? Malah muncul gosip baru. Seperti mereka putuslah, berantemlah. Toh itu ga bikin mereka mundur. Mereka tetep ngelaksanain apa yang mereka rencanain. Sampai pada akhirnya Cintya nerima telpon dari Dika...

"Cin, ntar malem keluar yo?"

"Kemana nyet?"

"Ke tempat yang enak buat ngobrol."

"Tempat biasa?"

"Yaudah."

Tempat biasa bagi mereka adalah sebuah tempat dibelakang komplek perumahan mereka. Disitu ada sungai kecil. Indah banget.

"Lo jemput gue ga nyet?"

"Ga usah. Kita janjian jam 7 aja."

"Oke."

Dika memutuskan pembicaraan. Baginya, ga perlu bertele-tele buat ngajak Cintya pergi. Tinggal telpon, langsung ngomong keperluannya apa, dan tutup. Selesai. Tapi ternyata Dika punya niat lain. Sambil menggenggam hapenya, dia bergumam: "Malam ini gue harus ungkapin. Ga boleh ngga."

***

"Udah lama?" kata Dika begitu ngelihat Cintya udah datang. "Maaf, tadi nganter mama dulu."

"Yap, ga apa-apa Dik." jawab Cintya sambil senyum.

Dika duduk disamping Cintya. Keduanya diam. Beda banget rasanya. Ga biasanya mereka diam seperti itu.

"Eh kok diem-dieman sih?" Cintya membuka obrolan.

"Ga apa-apa Cin." jawab Dika pelan.

"Hmm Cin." Kata Dika lagi. “Gue mau ngomong.”

“Yaudah ngomong aja, pake grogi gitu.”

“Iyaa. Gue serius nih.”

“Emang mau ngomong apa sih?”

Dika diam. Tangannya bersedekap. Cintya tau kalo Dika lagi grogi. Yah, sahabat mana sih yang ga tau kebiasaan sahabat yang udah dikenalnya dari masih bayi?

“Heh, lo grogi kenapa?” tegur Cintya.

“Eh ga apa-apa CIn.”

“Mau ngomong apa sih?”

“Hm gini…” kata Dika buka suara. Semuanya terlontar gitu aja dari mulut Dika. Rasa sukanya, rasa sayangnya, rasa pedulinya. Semua buat satu nama, Cintya Destiana.

“Lo serius Dik?” tanya Cintya.

“Iya,” jawab Dika. “Gue serius.”

“Satu lagi Cin,” kata Dika lagi. “Boleh ga gue jadi pacar lo?”

Suasana jadi tegang. Cintya diam. Dika juga ikutan diam. Perasaan Cintya kebingungan. Jujur dalam hatinya dia juga udah siap kalo seandainya mereka pacaran. Tapi hati kecilnya menolak itu semua. Dia ga mau merusak persahabatan yang udah lama dijalaninnya sama Dika.

“Dik..” kata Cintya. “Gue boleh ngomong juga ga?”

“Iya. Boleh Cin.”

Cintya diam lagi. Dia menghela nafas, lalu siap buat bicara.

“Gini Dik..” Cintya diam sebentar. “Gue tau semua yang lo rasa. Jujur gue juga ngerasain hal yang sama kayak yang lo rasain. Tapi di sisi lain, gue ga mau ini semua ngeganggu persahabatan kita, pertemanan kita…”

“Ga gitu juga Cin..” selang Dika.

“Tunggu gue selesai ngomong!” jawab Cintya tegas.

Dika diam. Dia tau gimana tegasnya Cintya.

“Gue bukan ga mau pacaran sama lo. Tapi gue mikirin semuanya Dik. Gue takut nantinya kita jadi beda. Gue ga mau kayak gitu.”

“Cin. Lo mau tau ga kenapa gue ungkapin ini semua?” kata Dika. Pelan.

“Kenapa?”

“Gue ga mau kehilangan lo Cin. Gue ga bisa ngelihat lo sama orang lain. Ehm, dalam artian pacaran.” jawab Dika. “Gue sayang lo Cin..”

Sebuah kecupan mendarat di kening Cintya. Kecupan tanda sayang dari Dika. Cintya kaget. Ga biasanya Dika berani seperti itu.

“Maaf.”

“ga apa-apa Dik.”

“Jadi gimana Cin.” Kata Dika. “Lo mau?”

“Hmm.. Yah kita coba aja jalanin dulu ya Dik. Tapi gue minta lo tetep jadi Dika yang kayak gini. Jangan berubah. Gue mau kita ngejalanin pacaran selayaknya kita sahabatan. Lo ngerti kan?”

“Iya. Gue ngerti Cin.” kata Dika. “Gue sayang lo. Ehm, aku sayang kamu.”

“Iya. Aku juga.” jawab Cintya, sambil senyum.

***



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Sahabat itu (bukan) Pacar #1



Dika membuka hapenya. Ada satu sms dari Cintya, sahabat dekatnya.

"Jemput gue dong, gue masih ditempat les tari" kata Cintya di smsnya itu.

"Ah dasar nih anak, nyuruh pas gue lagi tidur siang" kata Dika dalam hati. Tapi dia mengiyakan apa yang Cintya bilang di sms tadi. Dika ke garasi, menyalakan mobilnya, lalu pergi ke tempat Cintya.

***

Dika dan Cintya. Banyak orang menganggap mereka sepasang kekasih. 'Terlalu dekat', itu alasan yang dilontarkan orang-orang jika mereka bertanya kenapa disangka pacaran. Memang sih mereka sangat dekat. Mungkin karna mereka teman sejak lahir. Bahkan saat TK, SD, SMP, dan sekarang SMA, mereka selalu satu sekolah. Rumah mereka pun hanya beda beberapa rumah. Bagi mereka berdua mungkin wajar, tapi bagi kebanyakan orang kedekatan mereka dinamakan pacaran.

Disekolah pun sama. Berangkat, pulang, ke kantin, ngerjain tugas, mereka laksanain sama-sama. Ditambah mereka sekelas. Makin berkembanglah gosip-gosip tentang mereka berdua.

***

"Dika"

"Apa ma?"

"Tadi mama ketemu teman-temanmu di mall. Kata mereka, kamu sama Cintya pacaran?"

"Ha? Nggak kok ma" Dika kaget. "Gosip itu"

"Loh bohongan jadi?"

"Bukan bohongan, tapi emang nggak pacaran"

"Yaaah.."

"Kenapa ma?"

"Padahal mama pengen kamu pacaran sama dia. Dia baik Dik, udah deket sama kita dari dulu. Keluarganya juga. Dan asal kamu tau ya, waktu masih TK kamu sering mandi bareng sama dia" kata mamanya.

Glek! Emang kalo waktu kecil udah mandi bareng, berarti pas udah gede harus pacaran? Ga juga kali. Pikir Dika.

"Ga ah ma. Ga mau sama si kuda mah."

"Siapa kuda?"

"Cintya."

"Heh ganti-ganti nama orang."

"Ga apa-apa ma, orang dia kalo ketawa kayak kuda."

"Hus."

***

Dirumah Cintya.

"De, mama mau tanya sama kamu." kata mamanya.

"Iya ma" jawab Cintya. "Tanya apa ma?"

"Kamu pacaran sama Dika?"

"Hah? Dika mana ma?"

"Itu Dika tetangga kita. Anak pak Surya"

"Dika si kuda? Yang badannya bau kuda?"

"Hus. Ga boleh gitu"

"Bener tau ma. Aku kan tiap hari bareng dia."

"Iya." mamanya diam sebentar. "Kamu pacaran?"

"Hah? Nggak!"

"Beneran?"

"Iyalah ma. Dia itu cuma temen. Eh sahabat."

"Huh."

"Kenapa sih ma?"

"Padahal mama mau kamu pacaran sama dia. Dia baik de. Sopan lagi ma kita. Dan dia juga udah kenal keluarga kita dari dulu."

"Hah? Sopan gimana. Mama aja ga tau dia. Dia tuh ya kalo kentut sembarangan, kalo ngupil juga pasti dikasih ke aku."

"Itu iseng de."

"Itu jorok namanya mama."

"Kamu tau ga? Kamu ngomong kayak tadi, itu tanda kamu perhatian sama dia."

"Ga! Itu cuma karna aku sering sama dia."

"Yah apa kata kamu lah."

Cintya diam. Teringat sesuatu yang terjadi tahun lalu.

***

"Cin, gue mau ngomong bentar." kata Dika.

"Ngomong apa nyet?"

"Gue suka lo Cin." kata Dika. "Lo mau ga jadi pacar gue?"

"Lo lagi belajar mau nembak siapa?" Cintya malah ngga nanggapin.

"Nembak lo" balas Dika. "Gue ga lagi becanda"

Cintya diam. Dia udah ga heran Dika ngomong kayak gitu. Udah sering Dika ngomong kayak gitu, tapi dia tau Dika cuma bercanda. Tapi kali ini Cintya bingung. Dika, walaupun humoris, tapi kalo dia udah bilang 'ga becanda', berarti dia emang lagi serius.

"Cin. Kok diem?" tanya Dika.

"Eh ga apa-apa Dik."

"Jawab ya Cin. Gue pengen tau jawabannya."

Cintya diam lagi. Dalam hatinya emang pernah ada keinginan buat pacaran sama Dika. Tapi itu dulu. Sekarang dia udah nganggap Dika itu sahabatnya. Semua curhatan dia, ada di Dika. Begitu juga sebaliknya.

"Ehm Dik. Lo tau kan kita ini sahabatan udah lama banget." kata Cintya akhirnya.

"Iya gue tau." jawab Dika. "Terus kenapa?"

"Gue ga mau nantinya persahabatan kita rusak gara-gara kita pacaran."

"Rusak gimana? Yang ada kita semakin deket Cin" balas Dika.

"Gue ga bisa Dik. Maaf. Gue lebih nyaman kita kayak gini. Sahabatan. Gue harap lo ngerti."

"Tapi Cin, lo ga tau..."

"Gue tau Dik." potong Cintya. "Gue tau perasaan lo. Tapi maaf gue bener-bener ga bisa"

"Hemm. Ya udah deh Cin. Mungkin kita cuma ditakdirin jadi sahabat aja. Hehe."

"Lo ga marah kan Dik?"

"Engga. Ngapain marah? Gue ngerti kok." kata Dika sambil senyum.

Saat itu, ada kelegaan di hati Cintya.

***



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Boneka

Senin, 13 September 2010



Sebuah boneka selalu dan akan selalu tersenyum.


Yap, kenapa dalam tulisan kali ini gue ngebahas boneka? Bukan, bukan karena gue suka main boneka atau bergaul sama boneka. Dan bukan juga gue seorang penjual boneka. Seperti tulisan-tulisan iseng gue lainnya, disini juga gue pengen iseng ngungkapin tentang suatu hal. Dan kebetulan tema gue kali ini yaitu tentang boneka.


Boneka. Suatu mainan yang (mungkin)dikhususkan untuk anak perempuan. Kenapa harus anak perempuan? Karena perempuan ga mau main mobil-mobilan. Bingung? Oke, gue juga sama.


Oke, kembali ke pembahasan awal. Pernah ga sih kita ngerasa diri kita itu sebuah ‘mainan’? bukan berarti kita dijual di took-toko atau emperan gitu ya. Tapi kita diatur sedemikian rupa sama orang-orang disekeliling kita. Kita disuruh-suruh layaknya pembantu. Kita dihina-hina tanpa mereka mikir perasaan kita gimana pas dihina. Tapi saat kita lagi kayak gitu, yang kita lakuin cuma diem. Yap, diem. Kenapa kita diem saat itu? Banyak alas an buat ngejawabnya.


  • Kita ngerasa ga enak.
  • Kita takut orang itu marah sama kita.
  • Kita takut mereka anggap kita itu sombong.
  • Mereka nganggep kita ga peduli sama mereka.

Kalo kita udah kayak gitu, kita persis boneka kan?


Coba kita bayangin boneka. Misal boneka itu kita mainin. Tangannya diputer-puter, kakinya diiket, kita tonjok-tonjok, atau yang paling parah kita bakar. Tapi apa boneka itu ngelawan? Engga! Kenapa? Ya karena ga punya nyawa. Terus lihat pas kita ngelakuin hal itu ke boneka yang tadi. Seandainya boneka itu sedang dalam keadaan senyum, saat kita apa-apain juga bakal terus senyum. Kenapa? Ya kembali ke alas an tadi, dia ga punya nyawa. Seandainya saat kita ngelakuin semua itu, terus boneka itu jadi sedih dan mulutnya cemberut, apa yang kita lakuin? Lari! Ya jelas aja, serem kali.


Sekarang, seandainya kita kayak gitu, apa bisa dibilang kita ini boneka? Kalo iya, berarti kita ga punya nyawa? Ehm, dalam bahasa kasarnya, kita ga punya perasaan? Susah buat ngejawab itu semua.



Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO