Ga ada satu pun manusia yang bisa milih mau lahir dimana, hidup dikeluarga yang kayak apa, punya sifat yang gimana, dan fisik yang seperti apa. Saat manusia lahir, mungkin yang ada di pikiran mereka seperti ini :
'ternyata inilah dunia.'
tanpa berpikir mau jadi apa dan gimana nantinya.
Mungkin ada sedikit penyesalan di diri gue. Kenapa gue ga minta dilahirkan normal? Bukan lahir dengan fisik seperti ini? Fisik yang membuat gue banyak dicaci maki dan membuat gue ga bisa melakukan hal yang gue suka dengan bebas. Ya, kaki kanan gue cacat. Seperti terkena polio, tapi kaki kiri gue nggak. Gue ga bisa lari, bahkan untuk berjalan aja gue pincang dan kadang-kadang jatuh lalu menabrak orang didepan gue. Tapi ga cuma kaki yang seperti itu, tangan gue pun sama. Rasanya seperti kram dan ga bisa berhenti gerak. Sampai sekarang, ga ada yang tau penyakit gue namanya apa.
***
"Arif, mau sampai kapan tidur terus?" teriakan mama dari ruang tamu terdengar sampai kamar gue. Ya, hari ini adalah hari pertama gue masuk SMP. Hari dimana gue bakal dapat pengalaman baru, teman baru, dan kelas baru. Yeah, gue begitu semangat. Tapi begitu gue bangun dan melihat keadaan kaki gue, semangat itu hilang. Gue takut. Takut ga bisa diterima dilingkungan gue yang baru.
Gue bangun, dan pelan-pelan berjalan menuruni tangga. Ini lah yang gue bangga dari orangtua gue. Mereka ga memperlakukan gue seperti layaknya anak cacat. Bahkan kamar gue pun dilantai dua, suatu hal yang membahayakan sebenarnya bagi orang yang cacat kayak gue. Tapi orangtua gue ga peduli. Mereka tetap menganggap gue anak normal. Secara fisik tentu saja.
"Iya Ma, ini Arif udah bangun kok," kata gue sambil ngucek-ngucek mata.
"Cepetan makan terus mandi. Nanti jam 7 berangkat bareng Ayah," kata beliau.
"Iya Ma..." kata gue.
"Nih nasi gorengnya, dan ini susunya. Abisin ya sayang," kata dia lembut.
Mama gue emang perempuan yang lembut. Saat gue dihina-hina, dia yang membesarkan hati gue. Dia yang nyemangatin gue.
"Ma, Arif takut.." kata gue tiba-tiba.
"Takut kenapa sayang?" kata Mama gue.
"Arif pasti dihina Ma. Kayak dulu. Kenapa sih Ma kok fisik Arif kayak gini?" kata gue, sambil nahan tangis.
Mama gue ga jawab. Dia diem dan ngelus kepala gue. Dan disitu gue ngerasa ada beberapa tetes airmata yang jatuh dari matanya. Gue diem. Baru kali ini gue liat mama gue nangis.
"Nanti mama temenin kamu aja ya.." kata mama gue, senyum.
"Ga usah ma, Arif ga apa-apa kok.." kata gue akhirnya. Bisa dibilang kayak anak TK gue kalo sampe ditungguin mama gue.
"Arif mandi dulu ya ma, udah setengah 7" kata gue lagi.
"Iya sayang," kata Mama gue sambil senyum. Tapi gue bisa liat matanya berair.
***
Gue dapat kelas 7.4. Kelas baru, teman baru, dan suasana baru. Hal yang ga pernah gue duga, ga ada yang menghina gue. Mereka malah nganggep gue normal, sama kayak apa yang dilakukan orangtua gue. Mereka menerima gue apa adanya, tanpa melihat keadaan fisik gue.
Masalah justru muncul dari anak kelas lain. Tiap gue mau main ke kantin atau ke kamar mandi, pasti mereka ngejek gue. Sampai pernah waktu itu, Jaya, temen gue, hampir berantem dengan Robi, anak kelas sebelah, gara-gara Jaya membela gue. Tapi itu semua ga berlangsung lama. Semua orang mulai bisa menerima gue dilingkungan itu.
Layaknya remaja kebanyakan, gue juga mulai ngalamin apa itu jatuh cinta. Gue naksir sama satu cewe dikelas gue, namanya Kiki. Anaknya cantik, putih, dan pintar. Tapi gue sadar, dengan kondisi fisik gue yang ga sempurna ini, gue ga akan pernah bisa dapetin Kiki. Mungkin gue sama dia cuma biasa jadi sahabat, ya sahabat baik.
"Rif, sini deh," tiba-tiba Kiki manggil gue.
"Iya, ada apa Ki?" kata gue sambil pelan-pelan menuju meja dia.
"Hm.. Ini ada undangan ulangtahun. Buat kamu.." kata dia sambil ngasih undangan.
"Wah siapa yang ulangtahun Ki? Insya Allah gue dateng" kata gue.
"Si Rena, sahabat aku Rif. Hehehe," kata dia, sambil ketawa kecil.
"Oh iya, gue pasti dateng." kata gue senyum.
Dimulailah dari semenjak itu, gue minta diajarin bawa motor ke Ayah gue. Kenapa? Karena gue tau, rumah Kiki itu jauh. Sedangkan rumah Rena deket sekolah. Dan yang diundang ke acara itu cuma gue dan Kiki. Soalnya Rena itu temen lesnya Kiki, dan kebetulan Rena adalah temen SD gue. Jadi otomatis gue kenal. Lalu apa alasan gue mau minta diajarin bawa motor? Ya, semuanya karena alasan klasik, gue pengen anter jemput Kiki.
***
Dua minggu sebelum acara ulangtahun Rena, gue udah bisa bawa motor. Walaupun kadang gue harus bersusah payah buat jaga keseimbangan. Ya, tangan gue ga bisa stabil. Ditambah kaki gue juga terlalu lemes untuk menginjak pedal rem. Gue cuma mengandalkan rem tangan aja. Gue ga peduli. Yang penting gue bisa berangkat bareng Kiki berdua. Ya, cuma berdua.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Mama gue udah ngelarang gue supaya jangan pergi. Malah mama gue nawarin biar dianter mobil aja, tapi gue nolak. Gue pengen mandiri, gue ga mau ngerepotin siapa-siapa.
Gue ga bilang ke Kiki kalo gue mau jemput dia. Gue cuma tanya dia mau berangkat jam berapa. Kiki bilang mau berangkat jam 4. Gue mengiyakan, dan berharap Kiki bakal suprise melihat kedatangan gue nanti buat jemput dia.
Jam 4, gue pamit ke Mama gue. Perlahan gue mengendarai motor Ayah gue. Gue bawa pelan-pelan, ga terlalu pelan sih. Gue cuma hati-hati aja. Dalam pikiran gue, yang terbayang cuma wajah kaget Kiki yang ngelihat kedatangan gue buat jemput dia.
Ga lama, gue sampai dirumah Kiki. Gue ga langsung kerumahnya, tapi gue nunggu didepan rumahnya. Gue nunggu dia keluar rumah. Dugaan gue benar, ga lama dia keluar. Dengan tampang senang, gue nyapa dia.
"Hai Ki. Berangkat bareng?" kata gue sambil senyum.
"Eh Rif.. Hm.. Gimana ya.." kata dia. Tampaknya dia kebingungan tiba-tiba gue dateng.
"Lo mau berangkat kan? Ada tumpangan ga? Hehe." kata gue, ketawa kecil.
Baru selesai gue ngomong gitu, sebuah motor JupiterMX berhenti dideket gue. Dia Robi, anak kelas sebelah.
"Aduh.. Maaf banget ya Rif. Aku udah janji sama Robi. Dia yang mau nganter aku.." kata Kiki dengan tampang sedih.
"Oh iya deh ga apa-apa Ki.." kata gue, kecewa.
"Rif, kita bareng aja. Iring-iringan," kata Robi menawarkan.
"Oh iya Bi, gampang. Kalian duluan aja. Gue mau beli bensin dulu." kata gue sambil naik ke motor.
Gue muter motor gue, hampir jatuh. Abis itu yang gue inget cuma gas dan gas. Gue ga peduli lagi. Gue sakit hati dan kecewa. Gue terus gas sampai gue ga tau berapa kecepatannya. Gue terus mikirin Kiki. Sampai akhirnya gue ga sadar ada anak kecil nyebrang. Gue kaget. Gue belokin motor ke kanan, tapi dikanan ada ada mobil. Gue ga bisa ngerem motor gue. Bruuaaak!
***
RS. Sucipto, pukul 20.00.
Gue buka mata gue, ketika sebuah suara ngebangunin gue.
"Arif, kamu kenapa? Kok bisa tabrakan sih.." kata suara itu, yang akhirnya gue tau itu suara Kiki.
"Nggg... Ga apa-apa Ki.." kata gue pelan.
Abis ngomong gitu, gue ngelihat hal aneh-aneh. Gue lihat kakek gue yang udah meninggal, dan ngajak gue untuk ikut dia. Tanpa sadar, gue bilang ke Kiki.
"Ki, kamu tau ga? Kita bakal bener-bener kehilangan seseorang kalo orang itu udah pergi ninggalin kita?" ucap gue.
"Kamu ngomong apa sih Rif?" kata Kiki sambil nangis.
"Tetaplah jadi sahabat aku ya Ki. Arif sayang Kiki.." kata-kata terakhir gue buat dia.
Abis itu, yang gue inget, gue bisa ngelihat orang-orang memeluk tubuh gue. Mama gue pingsan. Sedangkan Ayah gue masih duduk, ga percaya sama semuanya. Gue berusaha memeluk mereka, tapi ga bisa. Gue berusaha mengelus kepala Kiki yang masih menangis, tapi tetap ga bisa. Sampai akhirnya satu suara bikin gue sadar.
"Kamu ga akan pernah bisa lagi menjamah mereka. Sekarang dunia kamu sudah berbeda sama mereka.."
***
"Bunda, kitcha mau cemana?" suara cadel itu bertanya kepada ibunya.
"Nanti kamu juga tau sayang.." kata si ibu, yang tak lain adalah Kiki.
"Bun, udah siap?" kata suara bapak-bapak. Dia Robi.
"Udah ayah. Ajak Arif ke depan yah," kata Kiki.
"Ayah, kitcha mau cemana cieh?" tanya si kecil Arif.
"Ke tempat yang hebat jagoanku.." kata Robi sambil gendong Arif.
Mereka berangkat. Dijalan, Arif terus-terusan bertanya mereka mau kemana. Tapi dengan sabar, Kiki dan Robi tidak mau memberitahu.
Sampai pada akhirnya mereka sampai disebuah pemakaman. Arif turun duluan, dan dia kaget melihat komplek pemakaman didepannya.
"Kock cuburan cieh Bun? Alif atut.." kata Arif sambil menutup matanya.
"Sini ikut ayah, ke rumah temen ayah.." kata Robi sambil menggendong Arif.
"Nah kita udah sampai." kata Robi dan Kiki berbarengan.
"Alif Bati Platama? Kok namanya sama kayak Alif?" kata Arif begitu ia membaca nama di nisan kuburan itu.
Pikiran Kiki dan Robi melayang. Mereka teringat 15 tahun yang lalu mereka ada disini untuk melihat jasad sahabat mereka dikubur. Ya , sahabat mereka Arif. Arif Bakti Pratama. Sebuah nama yang mereka kasih ke anak mereka. Tanpa sadar air mata Kiki menetes.
"Bunda, kock bunda nangits?" kata Arif perhatian.
"Sayang, kamu tau ga siapa dia?" kata Kiki lembut.
"Ciapah Bun emangnya?" kata Arif lugu.
"Dia orang yang pantang menyerah. Dia rela berkorban buat orang yang dia sayang. Nanti kamu kalo udah gede jadi kaya Om ini ya.." kata Kiki sambil nangis.
Tiba-tiba Arif jongkok.
"Om Alif, nama kitcha camaan ya. Cemoga Alif bica jadi cepelti Om. Jadi ceolang Alif yang pancang menyelah" kata Arif. Sebuah kalimat yang membuat mata Kiki dan Robi berair.
"Kita pulang yuk.." kata Kiki. Matanya ga berhenti menangis.
"Yuck Bun, Alif lapel." kata Arif.
Mereka bertiga berjalan meninggalkan pemakaman. Kiki berhenti sejenak, menengok kebelakang dan berkata dalam hati.
"Rif, aku sengaja ngasih nama yang sama ke anak aku. Aku pengen anak aku jadi orang yang pantang menyerah dan rela berkorban.."
"Tidurlah dengan tenang sahabatku...." kata Kiki lagi.
***
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
0 komentar:
Posting Komentar